SYAHADAT MUHAMMAD, MAKNA DAN KONSEKWENSINYA
Editor : Hamsir Jailani
Setiap muslim pasti bersaksi, mengakui bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasulullah, tapi tidak semua muslim memahami hakikat yang benar dari makna syahadat Muhammad Rasulullah, dan juga tidak semua muslim memahami tuntutan dan konsekuensi dari syahadat tersebut. Fenomena inilah yang mendorong khatib untuk menjelaskan makna yang benar dari syahadat Muhammad Rasulullah dan konsekuensinya.
Makna dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah pengakuan lahir batin dari seorang muslim bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, Abdullah wa Rasuluhu yang diutus untuk semua manusia sebagai penutup rasul-rasul sebelumnya.
dari makna di atas bisa dipetik bahwa yang terpenting dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah dua hal yaitu: Bahwa Muhammad itu adalah abdullah (hamba Allah) dan Muhammad itu rasulullah. Dua hal ini merupakan rukun syahadat Muhammad Rasulullah.
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku.” (A1 Kahfi; 110).
Syaikh Muhammad bin Shalih A1 Utsaimin menjelaskan: Dalam ayat di atas Allah memerintahkan NabiNya untuk mengumumkan kepada manusia bahwa saya hanyalah seorang hamba sama dengan kalian, bukan Rabb (Tuhan).
إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
“Saya hanya seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syaikh Al-Utsaimin berkata: Saya hanyalah hamba yakni saya tidak punya hak dalam rububiyah dan juga dalam hal-hal yang menjadi keistimewaan Allah.
Keyakinan bahwa Muhammad adalah hamba Allah menuntut kepada kita untuk mendudukkan beliau di tempat yang semestinya, tidak melebih-lebihkan beliau dari derajat yang seharusnya sebab beliau hanyalah seorang hamba yang tidak mungkin naik derajatnya menjadi Rabb.
Dari sini termasuk kesesatan jika ada yang ber-isti’anah1, ber-istighatsah2, memohon kepada Nabi untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat sebab hal itu adalah hak mutlak Allah sebagai Rabb.
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan". (Al-Jin; 21).
Kemudian syahadat “Muhammad Rasulullah” menuntut kita untuk mengimani risalah yang beliau sampaikan, beribadah dengan syariat yang beliau bawa, tidak mendustakan, tidak menolak apa yang beliau ucapkan maupun yang beliau lakukan.
Seorang Muslim yang beriman bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah, dituntut untuk mewujudkan beberapa hal sebagai bukti kebenaran keimanannya.
Hal hal yang wajib diwujudkan sebagai konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah:
1. Membenarkan semua berita yang shahih dari Rasul Allah I.
Muhammad adalah Rasulullah yang diistimewakan dari manusia lainnya dengan wahyu, maka jika Beliau memberitakan berita masa lalu maupun berita masa depan maka berita itu sumbernya adalah wahyu yang kebenarannya tidak boleh ragukan lagi.
Di antara berita-berita dari Rasulullah yang wajib kita terima adalah: Berita tentang tanda-tanda hari kiamat, seperti munculnya dajjal, turunnya Nabi Isa, terbitnya matahari dari barat, berita tentang pertanyaan di alam kubur; Adzab dan nikmat kubur, begitu juga berita tentang datangnya malaikat maut dalam bentuk manusia kepada Nabi Musa untuk mencabut nyawanya lalu Nabi Musa menamparnya hingga rusak salah satu matanya.
Semua berita di atas dan juga berita-berita lain yang berasal dari hadits-hadits shahih, wajib kita percayai, jangan sekali-kali kita dustakan dengan alasan berita itu bertentangan dengan akal sehat atau bertentangan dengan zaman.
2. Mentaati Rasulullah
Seorang muslim wajib taat kepada Rasulullah sebagai perwujudan sikap pengakuan terhadap kerasulan Beliau.“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (Al-Nisaa’; 80)
Syaikh Abdur Rahman Nasir As Sa'dy berkata: setiap orang yang mentaati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam dalam perintah-perintah dan larangan-larangannya dia telah mentaati Allah, sebab Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang kecuali dengan perintah, syariat dan wahyu yang Allah turunkan.
Taat kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam mempunyai dua sisi:
1. Taat dalam perintah dengan menjalankan semua perintahnya, di antara perintah Beliau yang wajib kita taati adalah: Perintah mencelupkan lalat yang jatuh dalam minuman atau makanan, mencuci tangan tiga kali sehabis bangun dari tidur, mengucapkan Basmallah ketika makan, makan dan minum dengan tangan kanan, shalat berjamaah dan lain-lain.
Sebagian orang menolak perintah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam dengan berbagai alasan, misalnya dia menolak perintah menenggelamkan lalat dengan alasan hal itu menyalahi ilmu kesehatan, dan perintah itu bersumber dari Rasul sebagai manusia biasa. Sikap ini adalah godaan syaitan yang bermuara kepada penolakan terhadap sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam
2. Sisi kedua dari mentaati Rasul adalah menjauhi larangan Rasulullah, sebab yang dilarang Rasulullah juga otomatis dilarang oleh Allah, di antara larangan tersebut: Larangan memakan binatang buas yang bertaring, larangan makan atau minum dengan bejana emas atau perak, larangan menikahi seorang wanita bersama saudara atau bibinya, larangan memanjangkan kain (sarung atau celana) di bawah mata kaki, larangan melamar di atas lamaran orang lain, larangan menjual atau membeli di atas penjualan atau pembelian orang lain, dan larangan-larangan yang lain, semua wajib dijauhi.
Termasuk beberapa hal yang sudah diletakkan oleh Rasulullah sebagai rukun, syarat dan batasan.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka jauhilah”. (Al-Hasyr: 7).
Konsekuensi yang ketiga: Berhukum kepada sunnah Rasul Allah.
Syahadat Muhammad Rasulullah yang benar akan membawa seorang Muslim kepada kesiapan dan keikhlasan untuk menjadikan sunnah Rasulullah sebagai rujukan, dia pasti menolak jika diajak untuk merujuk kepada akal, pendapat si A/si B, hawa nafsu, maupun warisan nenek moyang dalam menetapkan suatu hukum, lebih-lebih jika terjadi ikhtilaf (perbedaan), seorang Muslim yang konsekwen dengan syahadatnya dengan lapang dada akan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai imamnya.
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa'; 65).
Syaikh As-Sa'dy berkata: Allah bersumpah dengan diriNya yang mulia bahwa mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan RasulNya sebagai hakim dalam masalah-masalah yang mereka perselisihkan. Lanjut beliau; Dan berhukum ini belum dianggap cukup sehingga mereka menerima hukumnya dengan lapang dada, ketenangan jiwa dan kepatuhan lahir batin.
Haruslah diketahui bahwa sikap penolakan terhadap hukum Rasulullah dalam masalah-masalah ikhtilaf adalah termasuk sifat kaum munafikin.
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangimu dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (An Nisaa'; 61)
Ibnu Abbas berkata: Hampir saja Allah menghujani kalian dengan batu dari langit. Saya berkata: “Rasulullah telah bersabda begini, sedangkan kalian berkata (tapi) Abu Bakar dan Umar berkata begitu”.
As-Syaikh Al-Utsaimin berkata: “Jika seseorang mengguna-kan ucapan Abu Bakar dan Umar untuk menentang sabda Rasul bisa menyebabkan turunnya siksa; hujan batu, maka apa dugaanmu dengan orang yang menentang sabda Rasul dengan ucapan orang yang jauh di bawah derajat keduanya, tentu saja dia lebih berhak mendapat siksa..
Senin, 03 Januari 2011
AMALIAH MUSLIM
AMALIAH MUSLIM
By : Siana’ HUSNAWATI
Jika kita membicarakan islam pada hari ini, ternyata kita menemukan dua hal yang berbeda, bahkan saling berlawanan satu sama lain. Padahal secara hakekat , tentu seharusnya sama, mengacu pada artinya yaitu sejahtera. Jelas terdapat kesalahan, namun apanya yang salah, inilah yang harus kita temukan dan sekaligus kita cari solusinya.
Untuk menemukan apanya yang salah tidaklah gampang, salah satunya adalah kita harus memahami ilmu dasarnya, yang bisa kita temukan pada petunjuknya, yaitu Al-Qur’an. Apa peranan Al-Qur’an dalam hal ini, jelas sangat banyak, dan inilah yang akan kita gunakan sebagai referensi utama menelusuri permasalahannya.
Dalam QS : 2/185 mengatakan sebagai berikut : “..Petunjuk bagi manusia, bukti dari petunjuk tersebut dan pembeda..”. Ternyata dari ayat tersebut, tidak disebutkan AQ itu petunjuk bagi orang Arab misalkan, karena diturunkan di Arab, atau hanya untuk orang islam, atau hanya untuk Muhammad, tapi untuk seluruh umat manusia, dalam artian lain, bila manusia ingin selamat maka gunakanlah AQ. Berikutnya disebutkan bahwa AQ adalah bukti dari petunjuk tadi, maka ayat-ayat yang ada di AQ pasti akan terbukti suatu saat nanti. Dan yang terakhir adalah pembeda, antara yang hak dan yang bathil.
Sudahkah kita gunakan AQ itu sebagai petunjuk dalam kehidupan kita ? Sudahkah hidup dan kehidupan kita diatur oleh AQ ? Dalam berlalu lintas, petunjuk tersebut adalah rambu-rambu, bayangkan seandainya kita tidak mematuhi rambu-rambu tersebut, apa yang akan terjadi. Bisakah kita selamat sampai tempat tujuan ? Salah satu ayat AQ mengatakan sebagai berikut “..Jika kamu ( hai para muslimin ) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan dimuka bumi dan kerusakan yang besar.” ( QS : 8/73 ).
Begitu jelas Allah menggambarkan akibat yang terjadi dan memang pasti terjadi ( sesuai fungsi AQ ). Kita bisa melihat berbagai fenomena yang terjadi di sekeliling kita mengenai hal ini. Kelebihan yang dimiliki oleh AQ salah satunya adalah keindahan bahasanya, mana yang lebih dominan ? Tiap malam Jumat orang banyak datang ke Mesjid. Seakan sudah menjadi tradisi surat yang selalu di baca adalah surat Yaa siin. Sampai ngantuk-ngantuk orang membaca surat tersebut, dengan menggunakan tasbih, batu, atau biji jagung. Mana yang lebih dominan dalam hal ini, apakah AQ sebagai petunjuk atau segi bahasanya ( syairnya ) ? Padahal salah satu ayat melarang AQ tersebut dijadikan syair, yaitu :
“ Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya ( Muhammad ) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan” ( QS : 36/69.
Ayat tersebut memberikan larangan yang keras dalam bersyair, tapi kenyataannya ? Pahamkah mereka ? Coba anda perhatikan, satu hal yang menarik yaitu larangan tersebut berada di surat ke 36, yang ternyata adalah surat Yaa siin. Jelas bahwa mereka belum memahaminya. Dalam bahasan lain, disebutkan jika bukan sebagai petunjuk, maka diperlakukan layaknya seperti dongeng, dan yang mengatakan hal ini adalah orang-orang kafir. Dalam QS : 6/25 disebutkan sebagai berikut :...” orang-orang kafir itu berkata, Al-Qur’an tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu......”
“ Dan mereka berkata : Dongengan-dongengan orang-orang dahulu dimintanya supaya ditulis kembali, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang....” QS : 25/25Setelah sholat subuh, di mesjid-mesjid suka ada tadarus, demikian pula setelah sholat mahgrib, di kedua waktu ini relatif lebih banyak orang dibandingkan waktu lain. Apa yang menjadi rutinitasnya, membaca AQ, di waktu pagi ( setelah subuh ) dan petang ( setelah mahgrib ), padahal ini dikatakan oleh orang-orang kafir, maka tanpa disadari kita telah melakukan apa-apa yang diperolokkan oleh orang-orang kafir tersebut. Itulah beberapa kejadian menarik di sekitar kita, yang harus kita fikirkan. Hal yang berawal dari ketidakpahaman ini akan berakibat sangat fatal bagi perkembangan Islam sendiri. Seperti yang dikatakan dalam satu surat : “ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran , penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” ( QS: 17/36 ). Tapi kalau kita teliti lebih dalam, hampir 30 % isi Al Qur’an disajikan dalam bentuk dongeng ( cerita ), jadi apakah benar apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir tersebut? Apa tujuan Allah menjadikan cerita-cerita tersebut? Apakah hanya sekedar menambah perbendaharaan cerita kita atau ada maksud lain ? Kita lihat dalam salah satu firman Allah swt dalam QS : 12/111 : “ Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal...”
Ternyata kita harus mengambil pelajaran ( ibrah ) dari cerita tersebut. Maka kita harus belajar AQ dan mengambil pelajaran darinya. Mudahkanlah untuk mempelajari AQ tersebut? Untuk menafsirkan satu ayat saja dibutuhkan ilmu-ilmu pendukungnya, misalnya balaghah, nahwu, syorof, mantik, dll, yang jumlahnya sekitar 14 ilmu. Padahal secara logika, kitab balaghah saja terdiri dari banyak bab, yang untuk memahaminya dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Kita lihat dalam surat 54/17 : “ Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran , maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
Ternyata menurut Allah , mudah untuk mempelajari AQ, bahkan pernyataan ini diulang-ulang pada ayat-ayat ke 21, 23, 32, 39 ( diulang sampai empat kali ), menunjukkan ternyata memang mudah untuk mempelajarinya.
Jika Allah mengatakan bahwa mempelajari AQ itu mudah , tentu kita harus menemukan metode dalam mempelajarinya. Didalam surat Al Israa dijelaskan sebagai berikut :“Dan AQ itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkan bagian demi bagian.
Dari beberapa uraian diatas dapat di simpulkan bahwa seorang muslim dalam beramal dan beribadah harus nyambung dan sesuai dengan tuntunan AQ dalam memproses segala bentuk tindakan dan sikap dalam berhubungan dengan sesama manusia dan Allah swt. Jika ternyata dalam bersikap dan berhubungan, seorang muslim tidak mampu menampilkan bingkai pergaulan sesuai tuntunan AQ maka sesungguhnya keberadaannya sebagai muslim belum sempurna sebagaimana cita-cita AQ itu sendiri. Setidaknya seorang muslim dapat memahami ciri dan arah mana yang mesti dituju dalam menjalani tanggungjawabnya sebagai seorang muslim.
Seorang muslim yang paham tentang ajaran agama yang dianutnya seyogyanya dapat menjadikan ajaran tersebut sebagai sebuah acuan dalam memahami berbagai macam persoalan mendasar yang menjadi tanggungjawab setiap muslim.
( QS. Al-Ashr : 1-3 )
.......”Demi waktu ! Sesungguhnya manusia pasti berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman ( dan Istiqomah dengan Imannya dan mau membuktikannya dengan )beramal sholeh serta mau saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.......”
Demikian Al-Qur’an sangat jelas menggambarkan pondasi seorang muslim dalam menjalani kemuslimannya sesuai gambaran umum AQ bahwa seorang muslim harus tetap beriman dan istiqomah dalam beramal sholeh serta dalam beberapa hal selalu menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Jika ketiga pondasi tersebut mampu mewujud dalam diri setiap muslim maka sesungguhnya ia telah mampu meng-Iqra bingkai ajaran islam yang demikian dinamis dan manusiawi ini.
Intinya adalah muka bumi ini harus segera dipusakai oleh khalifah-khalifah dan hamba Allah yang Sholeh sebagaimana Allah telah menjelaskannya dalam QS : 21/105 yakni :
“Dan sungguh telah kami tulis di dalam zabur sesudah ( Kami tulis dalam ) Lauhul Mahfudz, bahwa bumi ini di pusakai oleh hamba-hambaku yang shaleh.”
Dan QS : 2/30
“..Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi......”
Demikianlah sekilas tentang dasar amaliah muslim yang dapat kami tuliskan....
Kritik dan saran akan sangat membantu untuk penyempurnaan tulisan-tulisan kami berikutnya...................................................................................................................................
Langganan:
Postingan (Atom)